Selamat datang di blog kami..!!! INSIDER 85 2k10

INSIDER 2k10 adalah pelajar angkatan 2010 yang bersekolah di SMA Negeri 85 Jakarta Barat. Menjunjung tinggi solidaritas antar pelajar... HIDUP PELAJAR.....!!!!

Senin, 12 November 2012

Rasio Perbandingan Luas Jalan Dengan Luas Wilayah Di DKI Jakarta



Rasio Perbandingan Luas Jalan Dengan Luas Wilayah Di DKI Jakarta
Sebagai kota metropolitan, Jakarta tentu ingin tampil dengan ciri-ciri kota modern termasuk di bidang transportasi. Memasuki usia yang ke-484, kota Jakarta terus berbenah diri untuk menjadi kota metropolitan kelas dunia. Salah satu yang menjadi fokus utama pembanguan kota Jakarta yakni, penanganan dan penyelesaian masalah kemacetan yang membutuhkan penanganan komprehensif dan berlaku untuk jangka waktu panjang, bahkan hingga 5 tahun kedepan.
Luas Wilayah di DKI Jakarta saat ini adalah 661,52 km2 . Jika dibandingkan dengan luas jalan yang ada di DKI Jakarta, saat ini hanya 6.26%, dengan total luas wilayah di DKI Jakarta. Sedangkan perbandinggan idealnya adalah 14% dari luas wilayah yaitu 92.6 km2. Kenyataannya luas jalan di ibu kota hanya 41.4 km2. Padahal masih ada sekitar 7.74% luas jalan yang belum dimanfaatkan yaitu sekitar 51.2 km2. Sedikitnya 114 ribu meter persegi jalan ibukota saat ini masih dalam kondisi rusak. Sebagai perbandinggan, rasio jalan di Singapura 12% dari luas wilayah, kota Tokyo 22% dan kota Paris 24% dari luas wilayah.
Dari data yang kita perolah diatas dapat kita simpulkan bahwa salah satu masalah di DKI Jakarta adalah KEMACETAN. Hal ini disebabkan semakin banyaknya kendaraan pribadi yang masuk dari luar Jakarta, sementara pertumbuhan kapasitas jalan tidak mampu mengikuti. Untuk mengatasi masalah kemacetan tersebut, polisi menurunkan personel tambahan guna mengatur lalu lintas di beberapa ruas jalan ibukota dan berkoordinasi dengan pemerintah kota terkait untuk mengurangi kemacetan yang terjadi. Saat ini Jakarta termasuk ke dalam 15 kota dengan peringkat kemacetan terparah di dunia. Tokyo (Jepang) adalah kota dengan tingkat kemacetan terparah, diikuti Los Angeles (USA) dan Sao Paulo (Brazil). Sedangkan Jakarta (Indonesia) berada pada urutan ke-14 setelah Manila (Philipine) dan London (UK).
Setiap hari kemacetan selalu terjadi di berbagai belahan wilayah Ibukota. Penyebab kemacetan sangat beragam, beberapa diantaranya adalah tidak seimbangnya rasio pertumbuhan kendaraan bermotor dengan pertumbuhan jalan, ketimpangan pertumbuhan antara kota jakarta dengan wilayah sekitar, kompleksnya fungsi kota, serta rendahnya tingkat kedisiplinan, kepatuhan dan masih lemahnya law enforcement (penegakan hukum).
Berdasarkan data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya tahun 2010, jumlah kendaraan bermotor mencapai 11.362.396 unit, yang terdiri atas roda dua sebanyak 8.244.346 unit dan roda empat sebanyak 3.118.050 unit. Dari jumlah itu, 80% kendaraan roda dua diantaranya berasal dari luar jakarta, sementara kendaraan roda empat 20% dari jumlah kendaraan roda empat seluruhnya. Ironisnya, panjangnya jalan di Jakarta hanya 7.650 km2 dan luasnya 41.4 km2, dengan pertumbuhan panjang jalan hanya 0.01% per tahun, sedangkan pertumbuhan kendaraan bermotor mencapai 15%. Tidak seimbangnya rasio pertumbuhan kendaraan dengan pertumbuhan jalan tersebut menyebabkan kemacetan di Jakarta kini makin parah. Dalam 7 tahun terakhir, kecepatan kendaraan di jalan Jakarta turun dari 26 km per jam menjadi 20 km per jam. Adapun kerugian akibat kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta mencapai Rp. 17,2 Triliun per tahun berdasarkan pada nilai waktu, biaya bahan bakar, dan biaya kesehatan, serta terjadi pemborosan energi sebesar Rp. 10 Triliun per tahun.
Kemacetan juga di sebabkan adanya ketidakseimbangan pemerataan pertumbuhan Jakarta dengan wilayah sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Tidak meratanya pertumbuhan tersebut menyebabkan munculnya arus masuk penduduk ke Jakarta yang cukup besar. Mereka berbondong-bondong mengadu nasib di Jakarta. Akhirnya muncullah arus commuter, yaitu arus yang disebabkan oleh pergerakkan penduduk luar Jakarta yang bekerja di Jakarta. Inilah yang menyebabkan kemacetan pada pagi dan sore hari.
Penyebab kemacetan lainnya adalah berlebihnya beban fungsi kota Jakarta. Saat ini fungsi kota Jakarta sangat kompleks. Jakarta dijadikan segala pusat aktivitas. Dari pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat bisnis hingga pusat perbelanjaan ada di Jakarta. Beragam fungsi kota, tapi masih lemahnya tingkat kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat pada hukum.
Dari permasalahan di atas, kami mengusulkan beberapa solusi untuk memecahkan masalah :
1.      Mengurangi beban fungsi kota, dengan cara merasionalisasi fungsi kota yang kurang prioritas. Bermaksud, hanya fungsi kota yang menjadi prioritas utama saja yang boleh tumbuh di Jakarta, sedangkan fungsi pendukungnya dapat di pindahkan ke daerah lain. Misalnya dengan membatasi perijinan dan pemberlakuan pajak yang tinggi di Jakarta
2.      Pemberlakuan kalender khusus bagi karyawan instansi pemerintah, swasta dan sekolah. Hal ini berkaitan dengan pembagian waktu masuk kerja dan masuk sekolah.
3.      Melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap jumlah dan jam keluar kendaraan bermotor. Caranya yaitu dengan menerapkan pajak progresif, pembatasan tahun kendaraan atau penerapan nomor ganjil dan genap.
4.      Melakukan pembatasan terhadap pengguna kendaraan pribadi dengan cara mengembangkan angkutan massal. Seperti  meningkatkan kuantitas dan kualitas angkutan massal, juga dapat menambah armada transportasi publik yang modern, berkapasitas besar dan terintegrasi seperti Mass Rapid Transit (MRT) . Serta di daerah-daerah perbatasan dibangun tempat-tempat parkir terpadu. Dengan demikian, pengguna kendaraan pribadi hanya menggunakan kendarannya sampai perbatasan Jakarta.
5.      Membangun jalur khusus bagi pengguna kendaraan roda dua, penegakkan disiplin secara konsisten (law enforcement), penataan pedagang asongan dan kaki lima, penertiban rambu dan marka jalan, penertiban parkir liar, pengaturan daerah operasi bajaj, serta penataan kembali posisi halte dan jembatan penyebrangan.
6.      Mengatur luasan badan jalan pada waktu-waktu tertentu disesuaikan dengan tingkat kepadatan lalu lintas.
7.      Menambah ruas-ruas jalan di Jakarta, dengan cara membangun jalan layang non tol.

8.      Parkir  sur charge bukan road pricing, maksudnya setiap kendaraan yang akan parkir dapat dikenakan pajak yang tinggi, di luar parkir resmi (misalnya Rp. 20.000) untuk setiap kendaraan yang parkir di kawasan bisnis utama Jakarta. Hal ini dimaksudkan agar setiap pengendara enggan membawa kendaraan ke kawasan tersebut, jadi jika sudah parkir para pengendara akan enggan mengeluarkan kendaraannya lagi hanya untuk kebutuhan yang kurang bermanfaat. Jadi pengendara akan terdorong untuk memilih berjalan kaki atau menggunakan angkutan umum.
9.      Jalur pejalan kaki, bukannya jalur sepeda. Supaya para pengendara tidak sedikit-sedikit membawa kendaraan, trotoar harus tersedia di setiap jalan padat di DKI Jakarta.
10.  Pemberlakuan Undang-undang untuk para pekerja Transportasi. Saat ini para supir dan pembantu supir transportasi perusahaan swasta tidak diikat dalam perjanjian yang jelas, yang sesuai dengan peraturan perburuhan. Mereka digaji dengan dikenai target setoran, kalau mereka digaji sama dengan para pekerja yang lain maka dorongan untuk bersaing mendapatkan setoran (bonus) yang tinggi akan berkurang dan mereka bisa berperilaku tertib dalam berkendara.
11.  Membuat atau menambah marka-marka jalan. Sebagian besar jalan di Jakarta tidak mempunyai marka-marka jalan, penanda arah jalur, garis berhenti di per empatan jalan, dan sebagainya. Untuk itu marka jalan harus di tambah agar para pengguna jalan dapat lebih disiplin dan jika ada yang melanggar bisa ditilang.


            Ketertiban berlalu lintas di jalan raya di kawasan Jakarta akan sulit terwujud jika tidak didukung oleh semua pihak pengguna jalan raya. Oleh sebab itu, kesadaran dan kedisiplinan para pengguna jalan adalah kunci penting dalam menangani masalah untuk mengurai kemacetan di ibukota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar