Rasio Perbandingan Luas Jalan Dengan Luas Wilayah Di
DKI Jakarta
Sebagai
kota metropolitan, Jakarta tentu ingin tampil dengan ciri-ciri kota modern
termasuk di bidang transportasi. Memasuki usia yang ke-484, kota Jakarta terus
berbenah diri untuk menjadi kota metropolitan kelas dunia. Salah satu yang menjadi
fokus utama pembanguan kota Jakarta yakni, penanganan dan penyelesaian masalah kemacetan
yang membutuhkan penanganan komprehensif dan berlaku untuk jangka waktu
panjang, bahkan hingga 5 tahun kedepan.
Luas
Wilayah di DKI Jakarta saat ini adalah 661,52 km2 . Jika
dibandingkan dengan luas jalan yang ada di DKI Jakarta, saat ini hanya 6.26%,
dengan total luas wilayah di DKI Jakarta. Sedangkan perbandinggan idealnya
adalah 14% dari luas wilayah yaitu 92.6 km2. Kenyataannya luas jalan
di ibu kota hanya 41.4 km2. Padahal masih ada sekitar 7.74% luas
jalan yang belum dimanfaatkan yaitu sekitar 51.2 km2. Sedikitnya 114
ribu meter persegi jalan ibukota saat ini masih dalam kondisi rusak. Sebagai
perbandinggan, rasio jalan di Singapura 12% dari luas wilayah, kota Tokyo 22%
dan kota Paris 24% dari luas wilayah.
Dari
data yang kita perolah diatas dapat kita simpulkan bahwa salah satu masalah di
DKI Jakarta adalah KEMACETAN. Hal ini disebabkan semakin banyaknya kendaraan
pribadi yang masuk dari luar Jakarta, sementara pertumbuhan kapasitas jalan
tidak mampu mengikuti. Untuk mengatasi masalah kemacetan tersebut, polisi
menurunkan personel tambahan guna mengatur lalu lintas di beberapa ruas jalan
ibukota dan berkoordinasi dengan pemerintah kota terkait untuk mengurangi
kemacetan yang terjadi. Saat ini Jakarta termasuk ke dalam 15 kota dengan
peringkat kemacetan terparah di dunia. Tokyo (Jepang) adalah kota dengan
tingkat kemacetan terparah, diikuti Los Angeles (USA) dan Sao Paulo (Brazil).
Sedangkan Jakarta (Indonesia) berada pada urutan ke-14 setelah Manila (Philipine)
dan London (UK).
Setiap
hari kemacetan selalu terjadi di berbagai belahan wilayah Ibukota. Penyebab kemacetan
sangat beragam, beberapa diantaranya adalah tidak seimbangnya rasio pertumbuhan
kendaraan bermotor dengan pertumbuhan jalan, ketimpangan pertumbuhan antara
kota jakarta dengan wilayah sekitar, kompleksnya fungsi kota, serta rendahnya
tingkat kedisiplinan, kepatuhan dan masih lemahnya law enforcement (penegakan
hukum).
Berdasarkan
data Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya tahun 2010, jumlah kendaraan
bermotor mencapai 11.362.396 unit, yang terdiri atas roda dua sebanyak
8.244.346 unit dan roda empat sebanyak 3.118.050 unit. Dari jumlah itu, 80%
kendaraan roda dua diantaranya berasal dari luar jakarta, sementara kendaraan
roda empat 20% dari jumlah kendaraan roda empat seluruhnya. Ironisnya,
panjangnya jalan di Jakarta hanya 7.650 km2 dan luasnya 41.4 km2,
dengan pertumbuhan panjang jalan hanya 0.01% per tahun, sedangkan pertumbuhan
kendaraan bermotor mencapai 15%. Tidak seimbangnya rasio pertumbuhan kendaraan
dengan pertumbuhan jalan tersebut menyebabkan kemacetan di Jakarta kini makin
parah. Dalam 7 tahun terakhir, kecepatan kendaraan di jalan Jakarta turun dari
26 km per jam menjadi 20 km per jam. Adapun kerugian akibat kemacetan lalu lintas
di DKI Jakarta mencapai Rp. 17,2 Triliun per tahun berdasarkan pada nilai
waktu, biaya bahan bakar, dan biaya kesehatan, serta terjadi pemborosan energi
sebesar Rp. 10 Triliun per tahun.
Kemacetan
juga di sebabkan adanya ketidakseimbangan pemerataan pertumbuhan Jakarta dengan
wilayah sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Tidak meratanya
pertumbuhan tersebut menyebabkan munculnya arus masuk penduduk ke Jakarta yang cukup
besar. Mereka berbondong-bondong mengadu nasib di Jakarta. Akhirnya muncullah
arus commuter, yaitu arus yang disebabkan oleh pergerakkan penduduk luar Jakarta
yang bekerja di Jakarta. Inilah yang menyebabkan kemacetan pada pagi dan sore
hari.
Penyebab
kemacetan lainnya adalah berlebihnya beban fungsi kota Jakarta. Saat ini fungsi
kota Jakarta sangat kompleks. Jakarta dijadikan segala pusat aktivitas. Dari
pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat bisnis hingga pusat perbelanjaan
ada di Jakarta. Beragam fungsi kota, tapi masih lemahnya tingkat kedisiplinan
dan kepatuhan masyarakat pada hukum.
Dari
permasalahan di atas, kami mengusulkan beberapa solusi untuk memecahkan masalah
:
1.
Mengurangi beban fungsi
kota, dengan cara merasionalisasi fungsi kota yang kurang prioritas. Bermaksud,
hanya fungsi kota yang menjadi prioritas utama saja yang boleh tumbuh di Jakarta,
sedangkan fungsi pendukungnya dapat di pindahkan ke daerah lain. Misalnya
dengan membatasi perijinan dan pemberlakuan pajak yang tinggi di Jakarta
2.
Pemberlakuan kalender
khusus bagi karyawan instansi pemerintah, swasta dan sekolah. Hal ini berkaitan
dengan pembagian waktu masuk kerja dan masuk sekolah.
3.
Melakukan pengaturan
dan pembatasan terhadap jumlah dan jam keluar kendaraan bermotor. Caranya yaitu
dengan menerapkan pajak progresif, pembatasan tahun kendaraan atau penerapan
nomor ganjil dan genap.
4.
Melakukan pembatasan
terhadap pengguna kendaraan pribadi dengan cara mengembangkan angkutan massal.
Seperti meningkatkan kuantitas dan
kualitas angkutan massal, juga dapat menambah armada transportasi publik yang
modern, berkapasitas besar dan terintegrasi seperti Mass Rapid Transit (MRT) .
Serta di daerah-daerah perbatasan dibangun tempat-tempat parkir terpadu. Dengan
demikian, pengguna kendaraan pribadi hanya menggunakan kendarannya sampai
perbatasan Jakarta.
5.
Membangun jalur khusus
bagi pengguna kendaraan roda dua, penegakkan disiplin secara konsisten (law
enforcement), penataan pedagang asongan dan kaki lima, penertiban rambu dan
marka jalan, penertiban parkir liar, pengaturan daerah operasi bajaj, serta
penataan kembali posisi halte dan jembatan penyebrangan.
6.
Mengatur luasan badan
jalan pada waktu-waktu tertentu disesuaikan dengan tingkat kepadatan lalu
lintas.
7.
Menambah ruas-ruas
jalan di Jakarta, dengan cara membangun jalan layang non tol.
8.
Parkir sur charge bukan road pricing, maksudnya
setiap kendaraan yang akan parkir dapat dikenakan pajak yang tinggi, di luar
parkir resmi (misalnya Rp. 20.000) untuk setiap kendaraan yang parkir di
kawasan bisnis utama Jakarta. Hal ini dimaksudkan agar setiap pengendara enggan
membawa kendaraan ke kawasan tersebut, jadi jika sudah parkir para pengendara
akan enggan mengeluarkan kendaraannya lagi hanya untuk kebutuhan yang kurang
bermanfaat. Jadi pengendara akan terdorong untuk memilih berjalan kaki atau
menggunakan angkutan umum.
9.
Jalur pejalan kaki,
bukannya jalur sepeda. Supaya para pengendara tidak sedikit-sedikit membawa
kendaraan, trotoar harus tersedia di setiap jalan padat di DKI Jakarta.
10.
Pemberlakuan
Undang-undang untuk para pekerja Transportasi. Saat ini para supir dan pembantu
supir transportasi perusahaan swasta tidak diikat dalam perjanjian yang jelas,
yang sesuai dengan peraturan perburuhan. Mereka digaji dengan dikenai target
setoran, kalau mereka digaji sama dengan para pekerja yang lain maka dorongan
untuk bersaing mendapatkan setoran (bonus) yang tinggi akan berkurang dan
mereka bisa berperilaku tertib dalam berkendara.
11.
Membuat atau menambah
marka-marka jalan. Sebagian besar jalan di Jakarta tidak mempunyai marka-marka
jalan, penanda arah jalur, garis berhenti di per empatan jalan, dan sebagainya.
Untuk itu marka jalan harus di tambah agar para pengguna jalan dapat lebih
disiplin dan jika ada yang melanggar bisa ditilang.
Ketertiban berlalu lintas di jalan
raya di kawasan Jakarta akan sulit terwujud jika tidak didukung oleh semua
pihak pengguna jalan raya. Oleh sebab itu, kesadaran dan kedisiplinan para
pengguna jalan adalah kunci penting dalam menangani masalah untuk mengurai
kemacetan di ibukota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar